Dinda Chika Audina, namanya.
Bocah chubby, gendut, dan lucu itu kini sudah menjadi gadis
yang beranjak dewasa, cantik, dan pintar. Usianya kini 18 tahun. Dia biasa dipanggil Dinda, adik satu-satunya yang saya cintai.
Saya merasakan rindu yang amat mendalam kepadanya. Entah kenapa
ada sedikit rasa bersalah karena saya sampai detik ini belum bisa memberikannya
sesuatu yang membuatnya bahagia, mungkin dari sisi materil. Saya sangat ingin
menyekolahkannya. Dia yang seharusnya masuk kuliah tahun 2011 namun memilih
untuk bekerja lebih dulu. Sedangkan saya yang sarjana memilih untuk mengambil
beasiswa S2. Saya menyadari semua ini, mungkin saya orang paling egois. Saya
memilih untuk kepentingan pribadi saya sendiri ketimbang memberi kesempatan
adik saya untuk kuliah. Jangan tanya masalah orang tua, saya mengajari adik
saya untuk tidak bergantung sama orang tua. Meskipun kami ini anak perempuan,
tapi saya mendidik adik dan diri saya untuk mandiri. Sudah terlalu banyak
pengorbanan yang dilakukan orang tua kepada kami berdua. Saatnya kami
bertanggung jawab terhadap diri kami sendiri.
Dimana dia sekarang?
Dinda bekerja di salah satu perusahaan asing, franchising
kuliner sebagai server/waitress/pelayan. Awalnya karena kegalauan memilih
universitas dan memilih untuk menanti hasil tes STAN yang ternyata tidak lolos,
dia bilang “teh, dede pengen kerja di PH, kayaknya seru, lumayan buat ngisi
waktu luang sebelum persiapan daftar kuliah tahun depan”. Ucapannya itu menggetarkan
hati saya, anak lulusan SMA kepikiran untuk bekerja, tanpa ada rasa malu. Saya
menanyakan padanya apakah dia yakin ingin bekerja disana, apa dia tidak malu
bekerja disana. Dia meyakinkan saya bahwa dia ingin sekali bekerja disana
daripada harus berdiam diri di rumah tanpa kegiatan yang pasti.
Akhirnya, saya menanyakan kepada teman saya yang bekerja
disana, apakah ada lowongan atau tidak. Dia bilang datang saja ke outlet sambil
membawa lamaran. Langsung saya buatkan dia lamaran, dan saya antar dia ke
outlet PH Sukabumi. Saya langsung bertemu dengan manajer outletnya dan kamii diwawancara
berdua. Manajer tersebut bilang bahwa outlet tersebut tidak sedang membutuhkan
karyawan baru, nanti akan dihubungi jika sudah diperlukan.
Dari kata-kata manajer tersebut, adik saya langsung berpikir
bahwa dia tidak mungkin bisa bekerja disana, namun saya selalu memberinya advice dan spirit untuk selalu berpikir positif. Pada saat itu, kami hanya
tinggal berdua di rumah. Orang tua kami tinggal di rumah nenek karena beliau
sakit. Saya merasa adik saya sudah menjadi tanggungan saya. Saya juga berjuang
untuknya, untuk kami.
Seminggu kemudian, manajer outlet PH itu menelpon dan
menyuruh Dinda datang dengan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam serta
rambut yang dicepol. Hari pertamanya itu dia hanya diberikan arahan dan 2 jam
kemudian kembali pulang. Dinda resmi menjadi karyawan training di outlet
tersebut. Saya bahagia bercampur sedih, namun semua proses ini harus kita
lewati bersama. Kami saling menyemangati dan membantu. Sungguh kenikmatan luar
biasa bisa seperti ini.
Sebulan kemudian, Dinda diangkat menjadi karyawan kontrak
dan mulai menanggalkan pakaian putih hitamnya, berganti pakaian karyawan PH.
Suatu kebanggaan baginya, bisa naik level menjadi karyawan kontrak. Sementara
itu, saya malah mendapat beasiswa di bulan yang sama. Sungguh kebahagiaan yang
aneh. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bahagia mendapatkan rejeki yang
tak disangka-sangka yaitu beasiswa S2 di Universitas Padjadjaran, Bandung. Tapi
saya merasa jadi orang paling egois sedunia. Saya pun hampir bimbang untuk
mengambil keputusan beasiswa itu, saya semakin merasa menjadi orang paling
egois sedunia karena harus mengakhiri bisnis yang saya jalani bersama partner.
Beberapa hari saya istikharah dan meminta beberapa pendapat dari orang-orang
yang saya cintai. Untuk ngobrol bersama orang tua sekalipun saya gugup, saya
bingung apakah ini akan membanggakan mereka atau sebaliknya mereka kecewa
karena bukan adik saya dulu yang kuliah. Tapi entah keyakinan itu terus tumbuh,
saya berusaha meyakinkan orang-orang yang saya sakiti. Saya yakin keputusan ini
adalah yang terbaik meskipun saya sendiri tidak tahu planning ke depannya
seperti apa tapi saya ingin mengambil beasiswa itu.
Dengan mengucapkan bismillah, saya berangkat ke bandung
dengan meminta ridho dari orang-orang tercinta. Saya pun mulai menjalani
perkuliahan di awal tahun 2012. Saya sudah jarang berkomunikasi sedekat dulu
dengan adik saya. Tahu-tahu dia menanyakan pendapat saya tentang pekerjaannya
itu. Manajernya meminta dia untuk mengikuti Team Challenge yaitu sebuah perlombaan
karyawan-karyawan PH se-ASEAN. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya saya
suruh adik saya untuk menerima penawaran dari manajernya itu.
Mulailah selama 2 minggu dia di karantina di Bekasi untuk
perlombaan antar outlet se-area dan
Dinda menjadi The Best Server. Saya sangat mengapresiasinya, saya dukung dia,
saya beri dia semangat dan meyakinkan dia bahwa dia bisa terus menjadi
pemenang. Bulan berikutnya dia kembali di karantina selama 1 bulan di Kemang
untuk perlombaan outlet se-Indonesia, dan Alhamdulillah Dinda menjadi pemenang
kembali dan akan melaju ke tingkat ASEAN, perlombaannya akan dilaksanakan pada
bulan November di Singapore. Sungguh suatu pencapaian yang luar biasa, saya
bangga dan yakin dia pasti bisa. Sekarang dia sedang menjalani karantina
kembali selama 3 bulan di Kemang untuk perlombaan berikutnya di Singapore. Satu
bulan lebih saya tidak bertemu dengannya, BBM nya tidak aktif, HP nya aktif
pukul 22.00 ke atas, dan saya saling bertukar kabar via SMS dan telepon saja.
Alhamdulillah keadaannya baik-baik saja. Dia tinggal di Apartement Kemang
Village.
Semalam, perjalanan pulang dari Bandung ke Sukabumi saya
naik bis pukul 20.00 dan sampai di Sukabumi pukul 23.00. Di bis, hujan turun,
pandangan saya mengarah ke luar jendela sambil memutar lagu dari MP3. Tak
disengaja, MP3 pun memainkan lagu Adele – Someone Like You. Bukan ingat dengan
mantan, gebetan atau apa tapi saya ingat adik saya, Dinda. Kami sering memutar
lagu ini bersama ketika sedang memasak macaroni schotel untuk dijual. Semua
tentang perjuangan kami berdua, canda tawa, tangis dan keharuan yang dulu kami
lewati tiba-tiba terus bermunculan di pikiran saya sampai air mata tak terasa
berjatuhan. Setiap mendengar lagu itu
saya ingat dia. Hampir tiap hari kami memutar lagu itu single repeat sampai dia
bilang, “dede mah enek kalau dengerin lagu ini keciumnya macaroni schotel” dan
kami selalu tertawa bersama setiap mengingat kejadian lagu yang happening pada
saat itu.
Saya hanya ingin dia tahu bahwa saya sangat sayang
terhadapnya. Entah apa lagi yang ada dihadapan kita nanti, kita harusa yakin dan
percaya kita bisa melewati semua itu.
“De, maafin teteh. Teteh udah banyak ngerepotin kamu,
nyuruh-nyuruh kamu, minta bantuan ini itu sama kamu, tanpa teteh sadari
pengorbanan kamu begitu banyak sedangkan teteh belum bisa bahagiain kamu, belum
bisa melakukan sesuatu buat kamu. Teteh cuma bisa ngedo’ain kamu, nyupport
kamu, dan teteh berharap didikan teteh sama kamu ga salah dan kamu bisa menjadi
perempuan yang tangguh, kuat, ga cengeng, dan ga kehabisan semangat untuk terus
maju. Teteh do’ain dede sehat terus, banyak yang sayang dede, dan sukses
lombanya. Teteh sayang dede...”
No comments:
Post a Comment