Saturday, 6 October 2012

Dinda, namanya..


Dinda Chika Audina, namanya.

Bocah chubby, gendut, dan lucu itu kini sudah menjadi gadis yang beranjak dewasa, cantik, dan pintar. Usianya kini 18 tahun. Dia biasa dipanggil Dinda, adik satu-satunya yang saya cintai.

Saya merasakan rindu yang amat mendalam kepadanya. Entah kenapa ada sedikit rasa bersalah karena saya sampai detik ini belum bisa memberikannya sesuatu yang membuatnya bahagia, mungkin dari sisi materil. Saya sangat ingin menyekolahkannya. Dia yang seharusnya masuk kuliah tahun 2011 namun memilih untuk bekerja lebih dulu. Sedangkan saya yang sarjana memilih untuk mengambil beasiswa S2. Saya menyadari semua ini, mungkin saya orang paling egois. Saya memilih untuk kepentingan pribadi saya sendiri ketimbang memberi kesempatan adik saya untuk kuliah. Jangan tanya masalah orang tua, saya mengajari adik saya untuk tidak bergantung sama orang tua. Meskipun kami ini anak perempuan, tapi saya mendidik adik dan diri saya untuk mandiri. Sudah terlalu banyak pengorbanan yang dilakukan orang tua kepada kami berdua. Saatnya kami bertanggung jawab terhadap diri kami sendiri.

Dimana dia sekarang?
Dinda bekerja di salah satu perusahaan asing, franchising kuliner sebagai server/waitress/pelayan. Awalnya karena kegalauan memilih universitas dan memilih untuk menanti hasil tes STAN yang ternyata tidak lolos, dia bilang “teh, dede pengen kerja di PH, kayaknya seru, lumayan buat ngisi waktu luang sebelum persiapan daftar kuliah tahun depan”. Ucapannya itu menggetarkan hati saya, anak lulusan SMA kepikiran untuk bekerja, tanpa ada rasa malu. Saya menanyakan padanya apakah dia yakin ingin bekerja disana, apa dia tidak malu bekerja disana. Dia meyakinkan saya bahwa dia ingin sekali bekerja disana daripada harus berdiam diri di rumah tanpa kegiatan yang pasti.

Akhirnya, saya menanyakan kepada teman saya yang bekerja disana, apakah ada lowongan atau tidak. Dia bilang datang saja ke outlet sambil membawa lamaran. Langsung saya buatkan dia lamaran, dan saya antar dia ke outlet PH Sukabumi. Saya langsung bertemu dengan manajer outletnya dan kamii diwawancara berdua. Manajer tersebut bilang bahwa outlet tersebut tidak sedang membutuhkan karyawan baru, nanti akan dihubungi jika sudah diperlukan.

Dari kata-kata manajer tersebut, adik saya langsung berpikir bahwa dia tidak mungkin bisa bekerja disana, namun saya selalu memberinya advice dan spirit untuk selalu berpikir positif. Pada saat itu, kami hanya tinggal berdua di rumah. Orang tua kami tinggal di rumah nenek karena beliau sakit. Saya merasa adik saya sudah menjadi tanggungan saya. Saya juga berjuang untuknya, untuk kami.

Seminggu kemudian, manajer outlet PH itu menelpon dan menyuruh Dinda datang dengan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam serta rambut yang dicepol. Hari pertamanya itu dia hanya diberikan arahan dan 2 jam kemudian kembali pulang. Dinda resmi menjadi karyawan training di outlet tersebut. Saya bahagia bercampur sedih, namun semua proses ini harus kita lewati bersama. Kami saling menyemangati dan membantu. Sungguh kenikmatan luar biasa bisa seperti ini.

Sebulan kemudian, Dinda diangkat menjadi karyawan kontrak dan mulai menanggalkan pakaian putih hitamnya, berganti pakaian karyawan PH. Suatu kebanggaan baginya, bisa naik level menjadi karyawan kontrak. Sementara itu, saya malah mendapat beasiswa di bulan yang sama. Sungguh kebahagiaan yang aneh. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bahagia mendapatkan rejeki yang tak disangka-sangka yaitu beasiswa S2 di Universitas Padjadjaran, Bandung. Tapi saya merasa jadi orang paling egois sedunia. Saya pun hampir bimbang untuk mengambil keputusan beasiswa itu, saya semakin merasa menjadi orang paling egois sedunia karena harus mengakhiri bisnis yang saya jalani bersama partner. Beberapa hari saya istikharah dan meminta beberapa pendapat dari orang-orang yang saya cintai. Untuk ngobrol bersama orang tua sekalipun saya gugup, saya bingung apakah ini akan membanggakan mereka atau sebaliknya mereka kecewa karena bukan adik saya dulu yang kuliah. Tapi entah keyakinan itu terus tumbuh, saya berusaha meyakinkan orang-orang yang saya sakiti. Saya yakin keputusan ini adalah yang terbaik meskipun saya sendiri tidak tahu planning ke depannya seperti apa tapi saya ingin mengambil beasiswa itu.

Dengan mengucapkan bismillah, saya berangkat ke bandung dengan meminta ridho dari orang-orang tercinta. Saya pun mulai menjalani perkuliahan di awal tahun 2012. Saya sudah jarang berkomunikasi sedekat dulu dengan adik saya. Tahu-tahu dia menanyakan pendapat saya tentang pekerjaannya itu. Manajernya meminta dia untuk mengikuti Team Challenge yaitu sebuah perlombaan karyawan-karyawan PH se-ASEAN. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya saya suruh adik saya untuk menerima penawaran dari manajernya itu.

Mulailah selama 2 minggu dia di karantina di Bekasi untuk perlombaan antar outlet se-area  dan Dinda menjadi The Best Server. Saya sangat mengapresiasinya, saya dukung dia, saya beri dia semangat dan meyakinkan dia bahwa dia bisa terus menjadi pemenang. Bulan berikutnya dia kembali di karantina selama 1 bulan di Kemang untuk perlombaan outlet se-Indonesia, dan Alhamdulillah Dinda menjadi pemenang kembali dan akan melaju ke tingkat ASEAN, perlombaannya akan dilaksanakan pada bulan November di Singapore. Sungguh suatu pencapaian yang luar biasa, saya bangga dan yakin dia pasti bisa. Sekarang dia sedang menjalani karantina kembali selama 3 bulan di Kemang untuk perlombaan berikutnya di Singapore. Satu bulan lebih saya tidak bertemu dengannya, BBM nya tidak aktif, HP nya aktif pukul 22.00 ke atas, dan saya saling bertukar kabar via SMS dan telepon saja. Alhamdulillah keadaannya baik-baik saja. Dia tinggal di Apartement Kemang Village.

Semalam, perjalanan pulang dari Bandung ke Sukabumi saya naik bis pukul 20.00 dan sampai di Sukabumi pukul 23.00. Di bis, hujan turun, pandangan saya mengarah ke luar jendela sambil memutar lagu dari MP3. Tak disengaja, MP3 pun memainkan lagu Adele – Someone Like You. Bukan ingat dengan mantan, gebetan atau apa tapi saya ingat adik saya, Dinda. Kami sering memutar lagu ini bersama ketika sedang memasak macaroni schotel untuk dijual. Semua tentang perjuangan kami berdua, canda tawa, tangis dan keharuan yang dulu kami lewati tiba-tiba terus bermunculan di pikiran saya sampai air mata tak terasa berjatuhan.  Setiap mendengar lagu itu saya ingat dia. Hampir tiap hari kami memutar lagu itu single repeat sampai dia bilang, “dede mah enek kalau dengerin lagu ini keciumnya macaroni schotel” dan kami selalu tertawa bersama setiap mengingat kejadian lagu yang happening pada saat itu.

Saya hanya ingin dia tahu bahwa saya sangat sayang terhadapnya. Entah apa lagi yang ada dihadapan kita nanti, kita harusa yakin dan percaya kita bisa melewati semua itu.

“De, maafin teteh. Teteh udah banyak ngerepotin kamu, nyuruh-nyuruh kamu, minta bantuan ini itu sama kamu, tanpa teteh sadari pengorbanan kamu begitu banyak sedangkan teteh belum bisa bahagiain kamu, belum bisa melakukan sesuatu buat kamu. Teteh cuma bisa ngedo’ain kamu, nyupport kamu, dan teteh berharap didikan teteh sama kamu ga salah dan kamu bisa menjadi perempuan yang tangguh, kuat, ga cengeng, dan ga kehabisan semangat untuk terus maju. Teteh do’ain dede sehat terus, banyak yang sayang dede, dan sukses lombanya. Teteh sayang dede...”


No comments:

Post a Comment